Jumat, 30 Oktober 2015

Unfulfilled Promise

Aku adalah orang yang egois. Jarang sekali ada yang mau berbicara denganku. Tapi meskipun begitu aku ini cantik. Alasan ku menjadi egois adalah karena aku capek harus terus mengalah. ‘Mengalah bukan berarti kalah.’ Hah, omong kosong. Meskipun kita nggak kalah karena mengalah, kita tetep kehilangan seusatu yang kita inginkan kan?

Yah tapi sepertinya aku masih disayang Tuhan. Aku masih mempunyai seorang teman. Dia anak yang manis, mudah bergaul, disukai banyak orang. Dan karena dia disukai bukan berarti dia tidak memiliki selusin orang yang tidak menyukai dirinya kan?
Aku selalu keras kepala padanya. Dan dia selalu menyikapi sikapku yang keras kepala itu dengan senyuman nya yang menenangkan.

Maaf.

Aku selalu menjerit dalam hati jika aku berbuat sesuatu yang egois padanya. Dan setelah semua keegoisanku, dia tetap bersamaku.

Entah apa yang dia pikirkan. Padahal banyak banget yang mau jadi temennya. Kenapa dia memilih untuk tetap bersamaku yang egois ini?

Dan kau selalu menepati janjimu. Ketika aku dengan seenaknya menagih janjinya untuk pergi ke toko kue, dia menepatinya. Meskipun dia dalam kondisi yang kurang sehat.

Dan aku pun memutuskan untuk berubah. Aku memutuskan untuk menahan sikap egoisku. Dan saat aku berubah, kau pergi meninggalkanku. Yang mungkin akan sangat lama untuk kembali padaku. Atau bisa dibilang kau tidak bisa kembali bersamaku.

Aku hanya bisa tersenyum miris memandangmu yang tidak bernyawa di tengah jalan. Truk sialan itu, telah merenggut hartaku yang paling berharga.

Beberapa bulan telah berlalu. Dan aku masih teringat percakapan terakhir kita.

“Ayo kita ke toko kue yang baru itu kapan-kapan ya?”


Hei, bukankah kau berjanji padaku untuk pergi ke toko kue yang baru itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar